Kirab Gunungan Undhuh Undhuh 2025 di Jogja
Ribuan warga tumpah ruah di sepanjang Jalan Solo hingga Jalan Wahidin dan Embung Langensari, Minggu (8/6/2025), mengikuti Kirab Gunungan Undhuh-undhuh 2025 yang digelar meriah di Kota Yogyakarta.
Budaya Undhuh-Undhuh adalah bagian dari tradisi budaya sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan panen, baik hasil bumi maupun hasil kerja, seperti kenaikan jabatan atau kesuksesan usaha.
Prosesi ini tak sekadar perayaan budaya, melainkan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sekaligus manifestasi harmoni antarumat beragama di kota yang dikenal dengan semangat toleransinya.
Di depan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman, kirab berhenti untuk menampilkan sendratari religius yang mengisahkan pertemuan simbolik antara Kyai Klitren dan Nyai Klitren—dua rel kereta api yang sejajar namun tak bersatu, lambang kerja sama tanpa kehilangan jati diri.

“Dua rel itu kalau satu tidak ada artinya. Tapi saat sejajar, ia mampu mengantarkan gerbong seberat apapun menuju tujuan. Inilah filosofi dari penyatuan Kiai dan Nyai Klitren,” ujar Ketua Panitia Kirab Undhuh-Undhuh Kelurahan Klitren 2025, Joko Pamungkas.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan kirab ini lahir dari kerelaan semua pihak untuk bergandengan tangan.
“Gereja Kristen Jawa membuka ruangnya, masyarakat Klitren menghidupkan kembali tradisi Undhuh-undhuh, dan FKUB mengangkatnya ke tingkat kota. Semua bergerak bukan karena kewajiban, tapi karena cinta pada kebersamaan,” jelas Joko.
Ia menyebut momentum ini sebagai contoh nyata bagaimana harmoni bukan sekadar wacana, tapi bisa benar-benar diwujudkan dalam tindakan.

Usai pertunjukan, enam pemuka agama memimpin pemberkatan gunungan dalam suasana khusyuk. Doa-doa dinaikkan dari berbagai tradisi spiritual, memohon keberkahan, kedamaian, dan kelestarian hidup bersama.
Hujan deras yang sempat mengguyur tak menyurutkan semangat warga yang antusias mengikuti kirab hingga akhir.
Sebagian gunungan kemudian dibawa menuju Embung Langensari untuk dibagikan kepada masyarakat.
“Saya dapat cabai, sawi, wortel, kacang panjang, banyak. Meski desak-desakan, tapi ini momen yang sangat berkesan,” ujar Tari, salah satu warga penerima gunungan.
Warga lain, Nuraeni, mengaku haru menyaksikan peristiwa ini. “Rasanya damai dan bahagia, melihat semua bisa bersatu. Semoga tahun depan lebih baik lagi,” katanya.
Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, turut hadir menumpangi andong bersama Ketua DPRD Kota FX. Wisnu Sabdono Putro dan para tokoh lintas iman. Dalam sambutannya, Hasto menegaskan kembali jati diri Yogyakarta sebagai City of Tolerance.
“Ini adalah cara luhur kita bersyukur atas hasil kerja. Semua agama bersatu dalam perayaan budaya yang sarat makna,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa gunungan tak sekadar ornamen kirab, melainkan simbol kebudayaan yang hidup sejak zaman nenek moyang.
“Dalam pewayangan, gunungan itu melambangkan rakyat yang menghadap gunung dan samudera, simbol kekuatan, arah, dan harapan. Mudah-mudahan lewat kirab ini kita semua diberkahi keselamatan dan kesejahteraan,” tutup Hasto.
Ketua Panitia Kirab, Joko Pamungkas berharap kirab ini tidak hanya menjadi agenda tahunan, tapi juga menjadi ruang belajar kolektif tentang arti persaudaraan lintas iman.
“Semoga ini menjadi warisan nilai yang kita teruskan ke anak cucu—bahwa di Yogyakarta, berbeda bukan alasan untuk berjauhan, tapi justru untuk saling mendekat,” pungkasnya.

Joko Pamungkas menyebut kegiatan ini hasil kolaborasi antara GKJ Gondokusuman, Rintisan Kelurahan Budaya (RKB) Klitren, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Yogyakarta.
Ia menegaskan, kirab ini bukan sekadar perayaan budaya, tetapi penegasan identitas Yogyakarta sebagai kota toleransi.
“Kami ingin ini menjadi simbol komitmen bersama dalam merawat keberagaman dan membangun masa depan yang damai,” ujarnya.